Sabtu, 28 Maret 2009

Pengumuman Minggu Prapaskah V

Minggu Prapaskah V, 29 Maret 2009


1.Minggu depan, tanggal 5 April 2009 adalah Hari Minggu Palma, Mengenang Sengsara Tuhan, yang dimulai Tuhan Yesus dengan memasuki Kota Yerusalem. Perarakan dan Pemberkatan daun Palma akan dilaksanakan sebagai berikut:

Misa Sabtu Sore: Tidak ada Perarakan. Pemberkatan daun Palma di dalam
Gereja bagi Umat yang tidak bisa ikut pada perayaan
Hari Minggu Palma.
Misa I: Pukul 06.00WIB; Pemberkatan daun Palma dan Perarakan mulai
di Gua Maria, samping Gereja.
Misa II: Pukul 08; Pemberkatan daun Palma dan Perarakan dimulai dari
halaman SD Cahaya Kebenaran menuju Gereja.

Petugas akan menyiapkan Daun Palma, tetapi dalam jumlah yang terbatas. Karena itu sangat diharapkan agar Umat juga membawa Daun Palma bagi dirinya masing-masing.


2.Mulai Minggu Palma nanti kita akan memasuki Pekan Suci. Artinya, kita akan memasuki hari-hari suci, yakni: Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci (Malam Paskah) dan Hari Raya Paskah. Kiranya persiapan-persiapan liturgis untuk perayaan-perayaan itu semakin diintensifikan. Para petugas liturgi dan koor bagi masing-masing perayaan tersebut sudah ditunjuk oleh seksi liturgi dapat dilihat di papan pengumuman depan pintu masuk Gereja.

3.Kepada Umat diberi kesempatan untuk menerima Sakramen Tobat dengan jadwal sebagai berikut: tanggal 30, 31 Maret, tgl 1 dan 2 April 2009 pada pukul 18.00 WIB hingga selesai.

Pengumuman Minggu Prapaskah V

Minggu Prapaskah V, 29 Maret 2009


1. Minggu depan, tanggal 5 April 2009 adalah Hari Minggu Palma, Mengenang Sengsara Tuhan, yang dimulai Tuhan Yesus dengan memasuki Kota Yerusalem. Perarakan dan Pemberkatan daun Palma akan dilaksanakan sebagai berikut:

Misa Sabtu Sore: Tidak ada Perarakan. Pemberkatan daun Palma di dalam
Gereja bagi Umat yang tidak bisa ikut pada perayaan
Hari Minggu Palma.
Misa I: Pukul 06.00WIB; Pemberkatan daun Palma dan Perarakan mulai
di Gua Maria, samping Gereja.
Misa II: Pukul 08; Pemberkatan daun Palma dan Perarakan dimulai dari
halaman SD Cahaya Kebenaran menuju Gereja.

Petugas akan menyiapkan Daun Palma, tetapi dalam jumlah yang terbatas. Karena itu sangat diharapkan agar Umat juga membawa Daun Palma bagi dirinya masing-masing.


2. Mulai Minggu Palma nanti kita akan memasuki Pekan Suci. Artinya, kita akan memasuki hari-hari suci, yakni: Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci (Malam Paskah) dan Hari Raya Paskah. Kiranya persiapan-persiapan liturgis untuk perayaan-perayaan itu semakin diintensifikan. Para petugas liturgi dan koor bagi masing-masing perayaan tersebut sudah ditunjuk oleh seksi liturgi dapat dilihat di papan pengumuman depan pintu masuk Gereja.

3. Kepada Umat diberi kesempatan untuk menerima Sakramen Tobat dengan jadwal sebagai berikut: tanggal 30, 31 Maret, tgl 1 dan 2 April 2009 pada pukul 18.00 WIB hingga selesai.

Asal-mula Masa Prapaskah

Bagaimanakah asal-mula Masa Prapaskah? Apakah Gereja selalu merayakannya sebelum Paskah?

Masa Prapasakah merupakan masa istimewa untuk berdoa, bertobat, bermatiraga dan melakukan karya belas kasihan sebagai persiapan menyambut perayaan Paskah. Dalam kerinduannya untuk memperbaharui praktek-praktek liturgi Gereja, Konstitusi tentang Liturgi Kudus Konsili Vatikan II menyatakan, “Dua ciri khas Masa Prapaskah - mengenang atau mempersiapkan pembaptisan, dan membina tobat - haruslah diberi penekanan yang lebih besar dalam liturgi dan dalam katekese liturgi. Masa Prapaskah merupakan sarana Gereja dalam mempersiapkan umat beriman untuk merayakan Paskah, sementara mereka mendengarkan Sabda Tuhan dengan lebih sering dan meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa.” (no. 109).

Sejak masa awal Gereja, terdapat bukti akan adanya semacam masa persiapan menyambut Paskah. Sebagai contoh, St. Ireneus (wafat 203) menulis kepada Paus St. Victor I, perihal perayaan Paskah dan perbedaan-perbedaan dalam perayaannya antara Timur dan Barat, “Perbedaan tidak hanya sebatas hari, tetapi juga ciri puasa yang sesungguhnya. Sebagian berpendapat bahwa mereka wajib berpuasa selama satu hari, sebagian berpuasa selama dua hari, lainnya lebih lama lagi; sebagian menetapkan 'masa' mereka selama 40 jam. Berbagai perbedaan dalam perayaan tersebut bukan berasal dari masa kita, melainkan jauh sebelumnya, yaitu sejak masa para leluhur kita.” (Eusebius, Sejarah Gereja, V, 24). Ketika Rufinus menerjemahkan bagian berikut ini dari bahasa Yunani ke bahasa Latin, tanda baca yang dibubuhkan antara “40” dan “jam” menjadikan maknanya tampak seperti “40 hari, dua puluh empat jam sehari.” Namun demikian, maksud pernyataan di atas adalah bahwa sejak masa “para leluhur kita” - sebutan bagi para rasul - suatu masa persiapan selama 40 hari telah ada. Tetapi, praktek nyata dan lamanya Masa Prapaskah masih belum seragam di seluruh Gereja.

Masa Prapaskah diatur secara lebih mantap setelah legalisasi agama Kristen pada tahun 313. Konsili Nicea (tahun 325), dalam hukum kanonnya, mencatat bahwa dua sinode provincial haruslah diselenggarakan setiap tahun, “satu sebelum Masa Prapaskah selama 40 hari.” St. Atanasius (wafat 373) dalam “Surat-surat Festal” meminta umatnya melakukan puasa selama 40 hari sebelum puasa yang lebih khusuk selama Pekan Suci. St. Sirilus dari Yerusalem (wafat 386) dalam Pelajaran Katekese, mengajukan 18 instruksi sebelum pembaptisan yang diberikan kepada para katekumen selama Masa Prapaskah. St. Sirilus dari Alexandria (wafat 444) dalam serial “Surat-surat Festal” juga mencatat praktek dan lamanya Masa Prapaskah dengan menekankan masa puasa selama 40 hari. Dan akhirnya, Paus St. Leo (wafat 461) menyampaikan khotbahnya bahwa umat beriman wajib “melaksanakan puasa mereka sesuai tradisi Apostolik selama 40 hari”. Orang dapat menyimpulkan bahwa pada akhir abad keempat, masa persiapan selama 40 hari menyambut Paskah yang disebut sebagai Masa Prapaskah telah ada, dan bahwa doa dan puasa merupakan latihan-latihan rohaninya yang utama.

Tentu saja, angka “40” selalu mempunyai makna spiritual khusus sehubungan dengan persiapan. Di gunung Sinai, sebagai persiapan untuk menerima Sepuluh Perintah Allah, “Musa ada di sana bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air” (Kel 34:28). Elia berjalan selama “40 hari dan 40 malam” ke gunung Allah, yakni gunung Horeb (nama lain Sinai) (1 Raj 19:8). Dan yang terutama, Yesus berpuasa dan berdoa selama “40 hari dan 40 malam” di padang gurun sebelum Ia memulai pewartaan-Nya di hadapan orang banyak (Mat 4:2).

Begitu Masa Prapaskah selama 40 hari ditetapkan, perkembangan berikutnya adalah menyangkut berapa banyak puasa yang harus dilakukan. Di Yerusalem, misalnya, orang berpuasa selama 40 hari, mulai hari Senin hingga hari Jumat, tetapi tidak pada hari Sabtu dan hari Minggu, dengan demikian Masa Prapaskah berlangsung selama delapan minggu. Di Roma dan di Barat, orang berpuasa selama enam minggu, mulai hari Senin hingga hari Sabtu, dengan demikian Masa Prapaskah berlangsung selama enam minggu. Akhirnya, diberlakukan praktek puasa selama enam hari dalam satu minggu, selama masa enam minggu, dan Rabu Abu ditetapkan untuk menggenapkan hari-hari puasa sebelum Paskah menjadi 40 hari. Peraturan-peraturan puasa bervariasi pula.

Pertama, sebagian wilayah Gereja berpantang dari segala bentuk daging dan produk hewani, sementara yang lain berpantang makanan tertentu seperti ikan. Sebagai contoh, Paus St. Gregorius (wafat 604), menulis kepada St. Agustinus dari Canterbury, perihal peraturan berikut: “Kami berpantang lemak, daging, dan segala makanan yang berasal dari hewan seperti susu, keju dan telur.”

Kedua, peraturan umum adalah orang makan satu kali dalam satu hari, yaitu pada sore hari atau pada pukul 3 petang.

Peraturan-peraturan puasa Masa Prapaskah juga mengalami perkembangan. Pada akhirnya, makan sedikit pada waktu siang diperbolehkan guna menjaga daya tahan tubuh selama melakukan pekerjaan sehari-hari. Makan ikan diperbolehkan, dan akhirnya makan daging juga diperbolehkan sepanjang minggu kecuali pada hari Rabu Abu dan setiap hari Jumat. Dispensasi diberikan untuk mengkonsumsi produk-produk hewani jika orang melakukan kerja berat, dan akhirnya peraturan ini pun sepenuhnya dihapuskan.

Selama bertahun-tahun perubahan-perubahan terus dilakukan dalam merayakan Masa Prapaskah, menjadikan praktek kita sekarang tidak saja sederhana, tetapi juga ringan. Rabu Abu masih menandai dimulainya Masa Papaskah, yang berlangsung selama 40 hari, tidak termasuk hari Minggu. Peraturan-peraturan pantang dan puasa yang berlaku sekarang amatlah sederhana: Pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung, umat beriman berpuasa (makan kenyang hanya satu kali dalam sehari, ditambah makan sedikit untuk menjaga daya tahan tubuh) dan berpantang setiap hari Jumat selama Masa Prapaskah. Umat masih dianjurkan untuk “merelakan sesuatu” sesuatu selama Masa Prapaskah sebagai mati raga. (Catatan menarik adalah bahwa pada hari Minggu dan hari-hari raya, seperti Hari Raya St. Yusuf (19 Maret) dan Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret), orang bebas dan diperbolehkan makan / melakukan apa yang telah dikorbankan sebagai mati raga selama Masa Prapaskah).

Namun demikian, senantiasa diajarkan kepada saya, “Jika kamu berpantang sesuatu demi Tuhan, teguhkan hatimu. Janganlah berlaku seperti orang Farisi yang suka mencari-cari kesempatan.” Lagipula, penekanan haruslah dititikberatkan pada melakukan kegiatan-kegiatan rohani, seperti ikut serta dalam Jalan Salib, ambil bagian dalam Misa, adorasi di hadapan Sakramen Mahakudus, meluangkan waktu untuk berdoa secara prbadi, membaca bacaan-bacaan rohani, dan yang terutama menerima Sakramen Tobat dengan baik dan memperoleh absolusi. Meskipun praktek perayaan dapat berubah dan berkembang dari jaman ke jaman, namun fokus Masa Prapaskah tetap sama: yaitu menyesali dosa, memperbaharui iman, serta mempersiapkan diri menyambut perayaan sukacita misteri keselamatan kita.

Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.

sumber : “Straight Answers: History of Lent” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2002 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

Memaknai Nama Katolik

Memakai Nama "Katolik"

1. Pantas disyukuri bersama, bahwa akhir-akhir ini semakin nampak adanya orang-orang katolik yang tergerak oleh ajaran-ajaran Gereja Katolik.

2. Lebih dari pada itu, tidak hanya sendiri-sendiri sebagai individu, tetapi juga secara bersama-sama mereka melandaskan kegiatannya itu berdasarkan ajaran Gereja yang mutakhir, termasuk ajaran-ajaran sosial Gereja. Dengan demikian, hal itu dapat dipandang sebagai perwujudan cita-cita Gereja yang percaya bahwa Gereja mendapat tugas untuk melaksanakan nilai-nilai luhur bagi keselamatan manusia.

3. Khususnya di Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia sangat mendukung inisitatif kaum awam tersebut. Hal itu tentu merupakan ambil bagian mereka dalam usaha mengatasi permasalahan bangsa berdasarkan nilai-nilai dan ajaran Gereja. Kerjasama melalui berbagai cara memang menjadi harapan orang-orang beriman di negeri yang sedang menanggung berbagai macam krisis ini.

4. Tetapi, mendasarkan kegiatan bersama berdasarkan ajaran Gereja Katolik tidak serta merta membuat orang-orang katolik tersebut begitu saja dapat memakai nama "katolik" bagi kebersamaannya itu.

5. Selama ini nama "katolik" telah menjadi nama diri sebuah komunitas beragama yang kehadirannya meliputi hampir seluruh dunia. Maka membuat nama itu menjadi nama diri sebuah kebersamaan, entah itu paguyuban atau organisasi atau partai di sebuah tempat tertentu adalah sebuah tindakan yang mengena pada nama diri Gereja Katolik, yang pada hakekat dan kenyataannya adalah sebuah komunitas keagamaan dan bersifat universal.

6. Berhubung nama "katolik" itu selama ini telah menjadi nama diri Gereja Katolik Roma, maka nama tersebut tidak hanya menyangkut Gereja Katolik yang ada di sebuah wilayah tertentu saja. Karena itu, penggunaan nama tersebut diatur oleh Hukum Gereja.

7. Menurut Hukum Gereja yang berlaku sejak tahun 1983, pada pokoknya, penggunaan nama itu hanya boleh dilakukan dengan persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang seperti dinyatakan pada kedua pasal ini:

Kanon 300:
Janganlah satu perserikatan pun memakai nama "katolik" tanpa persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang, menurut norma kanon 312.

Kanon 312:
# 1 Otoritas yang berwenang untuk mendirikan perserikatan-perserikatan publik ialah:
1. Tahta Suci untuk perserikatan-perserikatan universal dan internasional.
2. Konferensi Waligereja di wilayah masing-masing, untuk perserikatan nasional, yakni yang berdasarkan pendiriannya diperuntukkan bagi kegiatan yang meliputi seluruh negara.
3. Uskup diosesan di wilayah masing-masing, tetapi Administrator diosesan tidak, untuk perserikatan-perserikatan diosesan, terkecuali perserikatan-perserikatan yang pendiriannya menurut priviligi apostolik direservasi bagi orang lain.

# 2 Untuk mendirikan dengan sah perserikatan atau seksi perserikatan di keuskupan, meskipun berdasarkan previligi apostolik, dituntut persetujuan tertulis Uskup diosesan; tetapi persetujuan yang diberikan untuk mendirikan rumah tarekat religius berlaku juga untuk mendirikan perserikatan yang khas untuk tarekat itu di rumah itu atau di gerejanya.

8. Jadi, sehubungan dengan penggunaan nama "katolik" diperlukan dua hal yang hakiki, yaitu persetujuan dari otoritas gerejawi yang berwenang (Kanon 300) dan persetujuan itu tertulis (Kanon 312).

9. Selama ini, para Waligereja yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tidak pernah menyatakan persetujuannya kepada siapa pun juga yang berkehendak untuk memakai nama "katolik" pada organisasi, paguyuban, perserikatan, partai dan sebagainya, yang sedang dibentuknya.
Hendaknya yang bersangkutan dan berkepentingan maklum adanya.

(Dari DOKPEN-KWI, 13 Mei 2002)

Jumat, 20 Maret 2009

Pengumuan Hari Minggu, 22 Maret 2009

PENGUMUMAN
Minggu Prapaskah IV, 22 Maret 2009

1.Hari Rabu tanggal 25 Maret 2009 adalah Hari Raya Maria menerima Kabar Sukacita dari Malaikat Tuhan. Misa dilakasanakan pada pukul 18.00 WIB. Karena jadwal ini tidak masuk dalam jadwal yang ada, maka diminta kepada kelompok Legio Mariae untuk menyiapkan petugas liturgi bagi perayaan ini.

2.Hari Kamis, 26 Maret 2009 akan diadakan pesta Acies Legio Mariae di Gereja St. Fransiskus Assisi Singkawang, pukul 09.30 WIB.

3.Sejak tanggal 16 Maret 2009 Pastor Faustus Bagara, OFMCap menerima tugas baru dari Pimpinan Ordo Kapusin Propinsi Pontianak sebagai Direktur Rumah Retret St. Fransiskus Assisi Tirta Ria Pontianak dan sebagai Pro-Sekretaris Propinsi Kapusin Pontianak. Dan sebagai penggantinya telah hadir di tengah-tengah kita P. Marcel Ariyanto, OFMCap. Kepada P. Bagara kita ucapkan terimakasih atas kehadirannya di Paroki Singkawang, meski hanya sebentar saja, dan selamat betugas di tempat yang baru. Kepada P. Marcel kita ucapkan selamat datang dan selamat bertugas di Paroki Singkawang.

4.Pada Misa kedua hari ini (Minggu, 22 Maret 2009) ada Pembaptisan Bayi.

5.Hari Raya Paskah makin mendekat. Bagaimanakah persiapan kita, khususnya persiapan hati dan batin kita, untuk merayakan Hari Raya Kebangkitan Kristus ini? Kepada Umat diberi kesempatan untuk menerima Sakramen Tobat dengan jadwal sebagai berikut: tanggal 30, 31 Maret dan tgl 1,2 April 2009 pada pukul 18.00 WIB hingga selesai.

6.Hendak menerima Sakramen Perkawinan Suci:
1)Yoseph Phang dengan Florensia Dina. Pengumuman yang ketiga.
2)Djong Edy Susanto dengan Brigitta Emi Hartati. Pengumuan yang pertama.

NB. Barang siapa mengetahui adanya halangan-halangan yang berkaitan dengan rencana perkawinan ini, agar memberitahukannya kepada Pastor Paroki.

Demikian pengumuman. Atas perhatian kita semua, kami ucapkan terima kasih. Tuhan memberkati!

Kamis, 12 Maret 2009

My Dream Comes True!

Saya dapat ceritera ini dari milis Kapusin, kiriman salah seorang saudara Kapusin, P. Guido Situmorang, OFMCap. Yang punya ceritera sebenarnya adalah Pastor Heribertus Kartono,OSC (sekarang anggota Dewan Pimpinan General OSC di Roma). Saya cukup kenal dengan beliau karena selama di Roma cukup sering bertemu bila ada acara orang-orang Indonesia di kota Roma. Dia juga cukup aktif menulis di Majalah Mingguan Hidup.
Saya pikir ceritera ini sangat menarik dan perlu juga dibagi-bagikan bagi yang lain (walaupun mungkin sudah ada dari para pembaca telah membaca atau mengetahui isi cerita tsb). Semoga punya arti. Selamat membaca. P. A. Ambot, OFMCap


MY DREAM COMES TRUE!

“Kenapa hanya orang Katolik saja mempelajari Islam? Orang
Islam juga perlu belajar tentang agama Katolik!”, ujar
Yusuf Daud. Selama satu semester, Yusuf mendapat
kesempatan mengenal seluk-beluk agama Katolik. Tak
tanggung-tanggung, ia belajar di tiga Universitas ternama
sekaligus: Universitas Gregoriana, Angelicum dan Pisai.
Bapak tiga anak ini tidak hanya studi namun juga getol
bergaul dengan para rohaniwan/wati Indonesia yang ada di
kota Roma. “Saya selalu hadir pada misa dan pertemuan
rutin para pastor, bruder dan suster Indonesia”, papar
aktivis Myskatul Anwar, Padepokan Toha, Jakarta Selatan
ini.

Yusuf, seorang muslim yang taat, mendapat bea-siswa dari
Nostra Aetate, suatu lembaga di bawah naungan Vatikan.
Yusuf memang mengenal banyak kalangan Katolik lewat
kegiatannya dalam Interfaith Dialog. Baginya, lima bulan
mempelajari seluk-beluk agama Katolik serta bergaul dengan
kalangan rohaniwan, amat mengesankannya. “Luar biasa.
Pemahaman saya tentang agama Katolik menjadi sangat baik,
sangat positif. Saya ingin rekan-rekan yang lain,
khususnya dari kalangan garis keras, juga mendapat
kesempatan yang sama!”, jelas Yusuf bersemangat.
Diakuinya, beberapa kesalah-fahaman pandangan, misalnya
soal Trinitas, kini menjadi jelas baginya.

Salah satu keinginannya selama tinggal di Roma adalah
bertemu Sri Paus. Kesempatan itu akhirnya datang juga.
Pada suatu audiensi umum (04/02/09), Yusuf mendapat tempat
terbaik, paling depan. Karenanya ia sempat bersalaman,
bahkan mencium tangan Paus. Ia juga sempat memperkenalkan
dirinya pada Paus selama beberapa saat. Tentang
pertemuannya tersebut, Yusuf berkomentar: “My dream comes
true!”, ujarnya bahagia.

Yusuf mengaku senang tinggal di Roma. Namun ia harus
kembali ke Indonesia karena tugasnya telah selesai.
“Bagaimanapun saya harus pulang. Saya sudah rindu Sayur
Lodeh dengan sambal terasi buatan istri saya……!”, ujar
pria ramah ini.

Paroki sebagai Komunitas Pewartaan

PAROKI SEBAGAI SEBUAH KOMUNITAS PEWARTAAN

Dalam sebuah pembicaraan di meja makan, seorang rekan pastor memberikan komentar atas kekhawatiran terhadap unit-unit karya social Gereja, seperti Sekolah-sekolah Katolik, Rumah Sakit, dll akan kalah bersaing dan kemudian menjadi mati suri alias tutup. Pastor itu mengatakan, “Kita tak perlu khawatirlah. Misi awal kita mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit itu dulu kan untuk menolong orang-orang sakit dan anak-anak supaya bisa bersekolah. Karena dulu sekolah dan rumah sakit belum ada, sangat langka. Jadi bukan untuk bersaing apalagi bisnis, tetapi untuk kemanusiaan dan pewartaan. Sekarang yang penting bagi kita adalah bagimana kita memikirkan model dan strategi pewartaan kita sesuai dengan keadaan zaman ini”.
Misi utama Gereja adalah Pewartaan. Karya-karya social lainnya, seperti sekolah, rumah sakit, dll hanyalah pendukung dari misi utama tadi, yaitu mewartakan Injil Kristus kepada umat manusia sesuai dengan keadaan zaman ini. Karena itu ketika sebuah komunitas paroki hendak mengembangkan atau membuat rumusan misi parokinya, maka salah satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah perintah dan ucapan Yesus kepada para murid-Nya ini : “Pergilah dan jadikanlah mereka murid-murid-Ku”. Misi dan pewartaan Gereja sejatinya berdasar pada statement Yesus ini, meskipun cara dan pengungkapannya berbeda sesuai dengan situasi dan zaman di mana Injil itu hendak diwartakan.
Dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan tiga prinsip umum dalam pewartaan pada masa sekarang ini, pewartaan melalui kesaksian public, pewartaan melalui keindahan atau seni, pewartaan dan Ajaran Social Gereja. Dengan uraian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi dan membuka wawasan kita untuk melihat bagaimana sebuah paroki akan dan dapat menjadi sebuah komunitas pewartaan.

Pewartaan melalui Kesaksian Publik
Prioritas pertama adalah: membawa semua orang-orang Katolik secara sungguh-sungguh pada suatu antusiasme atas iman mereka, bahwa hidup iman mereka adalah dalam Yesus, dan membuat mereka merasa bebas untuk membagikan imannya itu dengan yang lain.
Dalam anjuran apostoiknya tenatang Evangelisasi (pewartaan), Paus Yohanes Paulus II menulis : Di atas segalanya, Injil harus diwartakan dengan kesaksian. Ambilah seorang Kristen atau sejumlah orang Kristen, yang di tengah masyarakatnya sendiri, menunjukkan kemampuan mereka untuk memahami dan menerima, untuk membagi hidup dan nasibnya dengan orang lain, solidaritas mereka serta usaha mereka untuk melakukan semua hal yang luhur dan baik. Marilah kita andaikan bahwa, di samping itu, mereka dengan secara sederhana dan tidak terpengaruh, memancarkan iman mereka dalam nilai-nilai yang di luar nilai-nilai yang sedang berlaku. Dan harapan mereka ialah pada sesuatu yang tidak kelihatan dan tak seorangpun berani membayangkannya.
Melalui kesaksian tanpa kata-kata ini orang Kristen membagkitkan pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dihalang-halangi dalam hati orang-orang, yang melihat bagaimana orang-orang Kristen hidup: apakah sebabnya mereka seperti ini? Mengapakah mereka hidup secara demikian ini? Apa atau siapakah yang mengilhami mereka? Sebab apakah mereka ada di tengah-tengah kita? Kesaksian semacam ini sudah merupakan suatu pewartaan Kabar Baik dengan secara diam-diam dan suatu hal yang sangat berpengaruh dan effektif.
Di sini kita lakukan langkah awal untuk penginjilan. Pertanyaan pertanyaan tadi mungkin akan merupakan hal pertama yang akan ditanyakan oleh kebanyakan orang-orang bukan Kristen, entah mereka ini meruapakan bangsa, yang tidak pernah mendapat pewartaan tentang Kristus, atau oleh orang-orang yang dibaptis namun tidak pernah mempraktekan agamannya. Ataupun hal itu dilakukan oleh orang-orang yang hidup berdasarkan prinsip-prinsip yang sama sekali bukan kristiani, atau orang-orang yang mencari dan kerapkali dengan susah payah, sesuatu atau seseorang yang dapat mereka rasakan tapi tidak dapat mereka sebutkan.
Pertanyaan-pertanyaan lain akan muncul, lebih mendalam dan lebih bersifat menuntut, pertanyaan-pertanyaan yang ditimbulkan oleh kesaksian yang melibatkan kehadiran, sharing/berbagi, solidaritas dan sesuatu yang hakiki dan secara umum merupakan hal pertama, di dalam penginjilan (Evangelii Nuntiandi, no. 21). Bapa Suci menambahkan: Manusia modern lebih senang mendengarkan kesaksian daripada para pengajar. Dan bila mereka mendengarkan para pengajar, hal itu disebabkan karena mereka tadi merupakan saksi-saksi (Evangelii Nuntiandi, no. 41).
Santu Petrus pun telah mengungkapkan dengan sangat baik mengenai pentingnya kesaksian public ini ketika ia menyebutkan bahwa teladan yang berasal dari hidup yang terhormat dan murni akan berhasil meyakinkan mereka yang menolak untuk tunduk pada Sabda Allah, kendati hal ini dilakukan tanpa perkataan (1 Petrus 3:1).

Pewartaan melalui Keindahan/Seni
Prioritas kedua untuk penginjilan ialah mengundang semua orang masuk dalam persekutuan “Communio”, entah apapun latar belakang social dan kebudayaan mereka, untuk mendengarkan pesan keselamatan dalam Yesus Kristus sehingga mereka boleh datang untuk bergabung dengan kita dalam kepenuhan iman Katolik.
Ada macam-macam cara pewartaan. Tradisi dan warisan katolik kita mengundang kita untuk melihat setiap aspek martabat manusia, dan seni sudah sejak lama telah menjadi bagian pewartaan dan tradisi katekese. Sebuah dorongan baru untuk menggunakan karya-karya seni dianjurkan oleh Dewan Kepausan untuk kebudayaan dalam dokumennya The Way of Beauty, di mana dikatakan: “The way of beauty replies to the intimate desire for happiness that resides in the heart of every person. Opening infinite horizons, it prompts the human person to push outside of himself, from the routine of the ephemeral passing instant, to the Transcendent and Mystery, and seek, as the final goal of the ultimate quest for wellbeing and total nostalgia, this original beauty which is God Himself, creator of all created beauty.”
Pada pertemuan tahun 2006, Dewan Kepausan untuk Kebudayaan mengidentifikasi tiga pendekatan untuk pewartaan melalui keindahan: melalui penghargaan terhadap ciptaan, seni dan Kristus sebagai contoh kekudusan kristiani. Ini membangkitkan pertanyaan penting bagi pembentukan masyarakat dalam terang iman untuk memiliki sebuah penghargaan yang autentik atas ciptaan Allah dan suatu penghargaan penuh iman akan keindahan autentik.
Ketika berbicara tentang ciptaan, Dewan Kepausan menulis: “We must carefully put in practice the twofold dimension of listening: listening to creation that tells the glory of God and listening to God who speaks to us through his creation and makes himself accessible to reason, according to the teaching of the First Vatican Council.”
Ia tidak hanya berbicara tentang pengembangan sebuah pembentukan/pembinaan dalam iman yang mengajarkan suatu penghargaan atas ciptaan dan keindahan, tetapi juga menekankan perlunya dialog antara iman dan ilmu pengetahuan. “Indeed, each branch of knowing, e.g. philosophy, theology, social and human sciences, psychology, can contribute to the revealing the beauty of God and of his creation.”
Dokumen ini mengingatkan kembali kerja dari tiga paus terdahulu akan pentingnya seni dan keindahan dalam pembentukan iman. Paus Yohanes Paulus II dalam suratnya Letter to Artists, menyebutnya sebagai “sebuah epiphany baru dan dialog iman dan kebudayaan antara Gereja dan Seni…”
Dokumen juga mempertanyakan tentang pengajaran umat prihal bagiamana menyambut keindahan dengan mengatakan: “Works of art inspired by the Christian faith – paintings and mosaics, sculptures and architecture, ivories, silvers, poetic, literary, musical and theatrical works, film and dance, etc. – possess an enormous potential pertinent to contemporary needs that remain unaltered by the times that pass. In an intuitive and tasteful manner, they permit participation in the great experience of the faith, of the meeting with God in the face of Christ in whom he uncovers the mystery of the love of God and the identity of man.”
Sebuah paroki dapat membangun iman yang dewasa pada kesempatan-kesempatan pembinaan, termasuk diskusi dan refleksi atas iman dan ilmu pengetauhan, seni, musik dan literature. Anggota Jemaat Paroki yang mempunyai pengetahuan banyak dalam bidang ini dapat bekerja sama dengan rohaniawan paroki dan staff pendidkian agama untuk memperkenalkan aneka ragam topik-topik yang menarik dan menantang bagi pendewasaan iman.
Dewan Kepausan untuk Kebudayaan mengingatkan: “In speaking to the artists in the Sistine Chapel 7 May 1964, Pope Paul VI denounced the ‘divorce’ between art and the sacred that characterized the 20th century and observed that today many have difficulty treating Christian themes due to a lack of formation and experience of the Christian faith.”
Dokumen melanjutkan: “The Servant of God John Paul II qualified the artistic patrimony inspired by the Christian faith as a ‘formidable instrument of catechesis,’ fundamental to ‘re-launch the universal message of beauty and good…’.
Senada dengan itu, Kardinal Joseph Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI), yang pada waktu itu sebagai ketua untuk Komisi Persiapan khusus bagi Compendium of the Catechism of the Catholic Church, menjelaskannya dengan menggunakan gambar-gambar: “The image is also a Gospel preaching. In all ages, artists have offered the events marking the mystery of salvation with the splendor of colors and in the perfection of beauty for the contemplation and admiration of the faithful. This is an indication of how, today more than ever with our civilization of the image, a holy image can express much more than words themselves, for its dynamism of communication and transmission of the Gospel message is more efficacious.”
Pendekatan ketiga dari pewartaan melalui keindahan yang diidentifikasikan oleh Dewan Kepausan untuk Kebudayaan adalah melalui suatu kontemplasi akan keindahan Kristus. Dokumen menginstruksikan bahwa dalam suratnya kepada para seniman ‘the Letter to Artists’, Paus Yohanes Paulus II menggarisbawahi kekayaan baru dari Inkarnasi: ‘Dengan menjadi manusia, Putera Allah telah diperkenalkan ke dalam sejarah manusia akan semua kekayaan injili yang benar dan baik, dan dengan ini Dia juga telah memperkenalkan sebuah dimensi baru dari keindahan, yang mana pesan Injil telah terpenuhi.
Menjaga keindahan Kristus harus dihadirkan dalam suatu sikap yang diperbaharui sehingga setiap orang yang percaya dan juga yang acuh tak acuh dapat menerimanya dengan senang hati dan mengkontemplasikan Dia. Perhatian para gembala dan katekis dibutuhkan untuk membawa isu ini agar pewartaan dan pengajaran mereka akan menuju ke keindahan Kristus. Orang-orang Kristen dipanggil untuk bersaksi dengan gembira dan untuk mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang dikasihi oleh Allah dan akan suatu keindahan hidup yang ditransformir oleh kasih yang datang dari atas ini.

Pewartaan dan Ajaran Sosial Katolik
Prioritas ketiga adalah menyebarkan nilai-nilai Injil di tengah masyarakat kita, mempromosikan kedalaman martabat pribadi, pentingnya keluarga dan pemahaman yang baik terhadap masyarakat kita, sehingga diri kita dapat terus bertransformasi dengan mengandalkan kekuatan dari Yesus Kristus.
Prioritas ini menerima secara ekstensif panduan dari the Compendium of the Social Doctrine of the Church, yang mengatakan: “The Church’s social doctrine is an integral part of her evangelizing ministry. Nothing that concerns the community of men and women…is foreign to evangelization, and evangelization would be incomplete if it did not take into account the mutual demands continually made by the Gospel and by the concrete, personal and social life of man. Profound links exist between evangelization and human promotion…” .
Pembentukan iman yang dewasa dan ‘ongoing formation’ Dewan Pastoral Paroki, Para Staff Paroki dan para relawan paroki akan terbantu dengan sebuah study atas ‘compendium’ ini. Paroki mempunyai sebuah misi dan kerasulan akan pemahaman-pemahaman yang baik dan benar akan Ajaran Social Gereja dan kemudian dapat mempromosikannya.
‘Compendium’ lebih lanjut mengatakan: “The Church’s social doctrine is ‘itself a valid instrument of evangelization,’ and is born of the always new meeting of the Gospel message and social life. Understood in this way, this social doctrine is a distinctive way for the Church to carry out her ministry of the Word and her prophetic role. In effect, to teach and to spread her social doctrine pertains to the Church’s evangelizing mission and is an essential part of the Christian message, since this doctrine points out the consequences of that message in the life of society and situates daily work and struggles for justice in the context of bearing witness to Christ the Savior…it is at the very heart of the Church’s ministry of service: with her social doctrine the Church ‘proclaims God and His mystery of Salvation in Christ to every human being, and for that very reason reveals man to himself.’ This is a ministry that stems not only from proclamation but also from witness.”
Sejak paroki berbagi dalam misi Gereja untuk menginjili pribadi-pribadi dan budaya-budaya, ia harus pertama-tama melihat ke dalam budayanya sendiri dan kemudian baru melihat ke budaya luar yang ada di sekitar komunitas tersebut, di mana dia harus mewartakan dan sekaligus memberikan kesaksian. Harus diingat bawha pewartaan dan kesaksian akan menjadi tidak lengkap jika ia tidak membentuk public dan dipraktekkan dalam kesaksian hidup.
Dalam suatu pertemuan dengan para uskup Canada beberapa waktu yang lalu, Paus Benediktus XVI menekankan kembali akan pentingnya keterkaitan antara Magisterium Gereja, iman per orangan dan kesaksian public dengan mengatakan: “In this regard, particular care must be taken to ensure that the intrinsic relationship between the Church’s magisterium, individuals’ faith, and testimony in public life is preserved and promoted. Only in this way can we hope to overcome the debilitating split between the Gospel and culture.”
Dan dalam eksortasi apostoliknya tentang Evangelisasi, Paus Paulus VI mengajarkan: “Pemisahan antara Inil dan kebudayaan tidak dapat diragukan lagi merupakan suatu drama untuk zaman kita, seperti halnya untuk zaman-zaman lainnya. Oleh karenanya setiap usaha harus dilakukan untuk menjamin penginjilan kebudayaan sepenuhnya, atau lebih tepat kebudayaan-kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan harus dilahirkan kembali dalam suatu pertemuan dengan Injil. Namun pertemuan ini tidak akan terjadi bila Injil tidak diwartakan” (Evangelii Nuntiandi, no. 20).
Orang-orang Katolik tidak dapat memisahkan iman mereka dari setiap aspek dan dimensi lainnya dari kehidupan mereka. Pemahaman akan Ajaran Social Gereja dan usaha-usaha untuk mempraktekkannya di paroki dan komunitas-komunitas local adalah sangat penting. Dalam budaya internal paroki dan budaya eksternal di sekeliling komunitasnya diusahakan harus mendidik, menjelaskan dan mempraktekkan Ajaran Sosial Gereja terebut.
Rumusan misi paroki, Dewan Pastoral Paroki dan Study tentang paroki sendiri sangat dibutuhkan, termasuk untuk suatu penyadaran tentang Ajaran Sosial Gereja serta untuk mengembangkan cara-cara mengajar dan memberi kesaksian Injil yang diarahkan pada isu-isu dan perhatian manusia zaman sekarang ini.
Ajaran Sosial Gereja itu sendiri terdiri atas rumusan-rumusan, pandangan dan sikap resmi Gereja tentang hak-hak dan tanggungjawab seorang pribadi manusia yang bermartabat. Keseimbangan antara keduanya, hak dan tanggungjawab, adalah sangat penting untuk sampai pada suatu pemahaman yang sempurna akan misi Gereja dan misi paroki.
(P. Amandus Ambot, OFMCap)

Senin, 09 Maret 2009

Allah yang Memampukan

Allah yang membuatmu mampu tersenyum walaupun menangis; untuk bertahan ketika engkau merasa hendak menyerah; untuk berdoa ketika engkau kehabisan kata-kata; untuk mencintai meskipun hatimu sudah hancur berkali-kali; untuk duduk dengan tenang ketika engkau merasa menyerah kepada kekecewaan;

Untuk terus mengerti ketika tak satupun yang kelihatan memberi arti; untuk mendengarkan ketika engkau sebenarnya tak mau mendengar; untuk berbagi perasaanmu dengan orang lain karena berbagi itu perlu untuk meringankan beban.

Segala sesuatu menjadi mungkin, karena Allah membuatmu mampu untuk berbuat itu.

(Diambil dari Rangkaian Kisah Bermakna)

Saya Mau Menjadi Mungkin

Seorang kepala sekolah mengunjungi kelas satu dan bertanya kepada anak-anak, “Kalau nanti sudah besar, kalian mau jadi apa?” Salah seorang anak mengacungkan tangannya. “Saya mau menjadi mungkin”, jawab anak laki-laki itu.

“Mungkin?” Tanya kepala sekolah. “Dari segala yang mungkin bagimu, mengapa engkau menginginkan itu?” Anak laki-laki itu menjawab, “Karena ayah dan ibuku selalu mengatakan bahwa saya tidak mungkin”.


(Diambil dari Rangkaian Kisah Bermakna)

Minggu, 08 Maret 2009

JADWAL MISA DI GEREJA ST.FRANSISKUS SINGKAWANG

MISA HARIAN: PUKUL 05.00

MISA HARI MINGGU
SABTU SORE: PUKUL 18.00 (DALAM BAHASA MANDARIN)
MISA PERTAMA: PUKUL 06.00
MISA KEDUA: PUKUL 08.00

JADWAL MISA KE STASI-STASI TERSENDIRI.

Profil Paroki Singkawang

PAROKI SINGKAWANG

SITUASI UMUM SINGKAWANG

Singkawang adalah sebuah kota yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Kota ini dikelilingi oleh pegunungan, yaitu gunung Pasi, gunung Poteng dan Sakok. Singkawang adalah sebuah nama yang berasal dari bahasa Cina Hakka atau Khek, San kew jong yang berarti sebuah di antara pegunungan dan kuala/muara dari beberapa sungai di tepi laut.
Sebagai sebuah Paroki, Paroki Singkawang dapat dikatakan terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah bagian yang masuk dalam wilayah Pemkot Singkawang, kecuali wilayah Kecamatan Singkawang Timur yang merupakan bagian dari wilayah Paroki Nyarumkop. Jadi Bagian kedua ialah bagian yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bengkayang, yang meliputi seluruh wilayah Kecamatan Capkala dan Sungai Raya.
Di sebelah utara Paroki Singkawang berbatasan dengan Paroki Pemangkat, di sebelah timur dengan Paroki Nyarumkop, dan di sebelah selatan dengan “Stasi” Mempawah, yang merupakan bagian dari Paroki Sungai Pinyuh.
Letak kota Singkawang di persimpangan jalan raya dari Pontianak (145 km) ke Sambas (75 km) dan jalan raya ke Bengkayang (70 km) dan daerah pedalaman menyebabkan bahwa kota ini dari zaman dulu menjadi pusat perdagangan.
Keadaan jalan dan hubungan lalu lintas baik sekali dan lancar kecuali jalan ke beberapa kampung yang terpencil di pedalaman. Penduduknya terdiri multietnis. Ada tiga etnis besar yang berada di wilayah ini, yaitu: Tionghoa, Dayak dan Melayu. Yang lainnya adalah Jawa, Madura, Batak, dll.
Selain pusat pemerintahan, kota Singkawang juga merupakan pusat perdagangan seluruh Kabupaten. Di luar kota bagian utara dan selatan Kecamatan Sungai Raya terutama di kampung-kampung Melayu terdapat banyak nelayan. Di sebelah timur dan selatan kota Singkawang di kampung-kampung orang Dayak terdapat areal-areal pertanian: persawahan dan perkebunan. Orang Tionghoa terkonsentrasi di pusat kota dengan pekerjaan bisnis dan perdagangan, meski tidak sedikit juga mereka yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan.

SEJARAH SINGKAT PAROKI SINGKAWANG
Melalui sejarah ini jelas digambarkan bagaimana latar belakang perkembangan suatu paroki. Dalam suatu paroki, pastor paroki merupakan tulang punggung dari paroki yang bersangkutan dan sebagai badan (tubuhnya) adalah umat, keduanya tidak bisa dipisahkan. Sampai sekarang ini sudah ada 46 orang pastor yang pernah bekerja di Paroki Singkawang, empat di antaranya masih berada dan berkarya di Paroki ini, yakni: P. Pacificus Wiadi, OFMCap, P. Marius, OFMCap, P. Amandus Ambot, OFMCap dan P. Faustus Bagara, OFMCap. Pastor Paoki Singkawang sekarang adalah P. Amandus Ambot, OFMCap.

ASAL MULA PAROKI SINGKAWANG
Singkawang pada awalnya adalah stasi pertama di Kalimantan bagian Indonesia. Sekarang merupakan sebuah paroki yang cukup besar di wilayah Keuskupan Agung Pontianak. Sejarah bermulanya gereja (misi) di Kalimantan dimulai dari Singkawang.
Pada mulanya Singkawang merupakan daerah turne pastor dari Jakarta. Menurut catatan paroki, tahun 1873 sudah ada umat yang dipermandikan oleh pastor J. de Vries. Stasi ini didirikan tahun 1885, dengan Pater Staal SJ. sebagai pastor Paroki pertama. Sesudah Pater de Vries dan Pater Staal SJ. di tarik ke Jawa, misi di Kalimantan tanpa pastor ini berlangsung dari tahun 1897 sampai tahun 1905.
Sejak masa itu pimpinan misi Yesuit berusaha mencari ordo lain yang bersedia untuk mengurus misi di Kalimantan. Pada tanggal 11 Februari 1905 Kongregasi Penyebaran Iman di Roma mendirikan Prefektur Apostolik Kalimantan yang meliputi seluruh pulau Kalimantan yang dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan pusatnya Singkawang.
Prefektur baru itu dipercayakan kepada Ordo Kapusin. Kemudian Pimpinan Ordo menugaskan kepada Kapusin-Kapusin Negeri Belanda untuk mengurus misi itu.
Pada tanggal 10 April Pater Pacifikus Bos diangkat sebagai Prefek Apostolik. Pada tanggal 30 November 1905 Pater Prefek Pacifickus bersama tiga pastor dan dua bruder menjejakkan kakinya pertama kali di Singkawang, di mana mereka menemukan sebuah gedung gereja kecil dan sebuah rumah pastor yang sederhana. Mereka belum mengerti apa-apa mengenai bahasa dan kebiasaan setempat.
Mereka disambut hangat oleh umat yang terdiri dari orang-orang Tionghoa perantau (kurang lebih 150 orang Katolik). Seorang katekis, pemimpin umat, bertindak sebagai juru bahasa. Pada akhir tahun 1906 tenaga mereka ditambah dengan empat orang pastor, dua orang bruder dan lima orang suster Fransiskanes dari Konggregasi Veghel.
Suster-suster itu mulai mengasuh anak-anak yatim-piatu, mengobati orang sakit, dan mengunjungi tempat pengasingan bagi penderita penyakit kusta, yang terletak di luar kota Singkawang.
Awal 1907 dua orang pastor ditugaskan untuk membuka stasi di Kalimantan Timur. Dan sejak Oktober 1907 seorang pastor menetap di Pemangkat; ia mendirikan Gereja dan sekolah di tengah-tengah orang Daya di Pelanjau, yang tahun 1916 dipindahkan ke Nyarumkop.
Pada permulaan tahun 1909 stasi Pontianak di buka. Bersamaan dengan itu Pater Prefek memindahkan pusat kegiatan misi dari Singkawang ke Pontianak.
Metode yang dipakai oleh para misionaris baru ini tidak lain dari pada yang di pakai di daerah-daerah misi pada umumnya pada masa itu. Mereka berusaha untuk membangun sekolah-sekolah sebanyak mungkin dengan harapan agar anak-anak itu kemudian dipermandikan. Para Pastor, Bruder dan Suster sendiri mengajar di sekolah karena guru-guru belum ada pada waktu itu.
Anak-anak sekolah sedapat mungkin diasramakan, dan di luar jam sekolah dapat dididik secara Katolik. Kebun-kebun karet dan kelapa di sekitar Singkawang dibelikan, ini sebagai sumber materiil untuk misi. Pada tahun 1918 rumah sakit didirikan berkat bantuan subsidi pemerintah; begitu juga dengan rumah sakit kusta (1925).
Bagi sekolah-sekolah besar di kota misi mendapat tenaga baru dari Bruder-bruder MTB (Maria Tak Bernoda) dari Konggregasi Huijbergen yang sejak tahun 1921 memimpin Hollands Chinese School (HCS) di Singkawang, lalu menyusul di Pontianak 1924.
Pada tahun 1913 yang lalu Bruder Wenceslaus telah mulai mendidik beberapa orang untuk menjadi pembantunya dalam pembangunan (Pertukangan), tahun 1928 sekolah pertukangan di Pontianak didirikan.
Tahun 1937 para suster Klaris Kapusines mulai hidup dengan komtemplatif di bumi Kalimantan dalam sebuah biara yang didirikan di samping gedung gereja di paroki Singkawang. Mereka pada mulanya tidak menerima tugas dari luar tembok biara. Hidupnya dengan doa siang dan malam untuk mohon berkat dan rahmat Tuhan atas Umat Kalimantan.
Sampai disini kita melihat karya misi Katolik di Singkawang meliputi: Gereja, sekolah, asrama dan rumah sakit. Para Pastor sering masuk ke kampung-kampung sekitar yang merupakan bagian wilayah Paroki Singkwang. Sampai sekarang metode kerja itu masih berlaku. Hanya di pihak lain keterlibatan awam makin menonjol. Melalui Dewan Paroki dan pembentukan Kring-kring umat awam semakin banyak melibatkan diri dalam kegiatan Paroki. Stasi-stasi luar kota semakin sering dikunjungi oleh para pastor, yang dibantu oleh guru agama dan petugas pastoral awam lainnya.

Mengapa Aku Menjadi Katolik?



Umat Allah yang dikasihi Tuhan,

Melalui pertanyaan ini, saya mengajak saudara-saudari untuk melihat perjalanan kita sebagai orang katolik baik secara personal maupun komunal. Kini, kita adalah anggota Gereja Katolik. Bagaimana hal itu terjadi? Setiap kita punya sejarahnya. Umumnya kita menjadi katolik karena berasal dari keluarga/orang tua katolik. Banyak juga yang menjadi katolik pada usia dewasa. Ada beberapa hal yang mendorong orang untuk menjadi katolik seperti: karena ketertarikan kepada pewartaan dan cara hidup pastor, suster, bruder, frater, dan keluarga katolik, karena pengajaran dari katekis atau guru agama, karena melihat dan berteman dengan mereka yang katolik, karena perkawinan dan lain sebagainya. Ini adalah proses awal untuk menjadi katolik.

Kita tidak berhenti pada proses awal ini saja. Kita bergerak kepada suatu tahap yang lebih penting dan signifikan yakni beriman dan memilih dimana kekatolikan yang kita punyai menjiwai kehidupan kita. Orang yang sampai pada proses ini lebih tangguh hidup kekatolikannya. Hidup doanya berkembang, demikian juga relasi sosialnya dengan orang lain. Hidup berimannya tampak dalam kehidupan hariannya. Cara hidup yang dijiwai oleh iman katolik ini merupakan kotbah dan pewartaan yang hidup.

Umat Allah yang saya banggakan,

Oleh karena itu, kesaksian hidup sebagai orang katolik merupakan sarana dan bentuk pewartaan yang paling handal untuk menunjukkan kehadiran Kerajaan Allah di tengah dunia atau masyarakat. Pendidikan dan pengajaran agama dalam keluarga harus tetap dilakukan oleh setiap keluarga katolik. Relasi dengan orang sekitar membuat mereka melihat, mengenal, dan menganggumi kehadiran kita sebagai orang katolik. Ingatlah, kita menjadi katolik karena keluarga dan cara hidup dan pewartaan dari orang-orang katolik sebelum kita.

Pelantikan Dewan Pastoral Paroki Singkawang oleh Mgr. Hieronimus Bumbun (Uskup Agung Pontianak). Perayaan ini berlangsung meriah yang disaksikan oleh umat Paroki Singkawang dalam misa kedua pada hari Minggu, 1 Maret 2009.

Usai pelantikan dilanjutkan dengan ramah tamah di ruang dalam pastoran Paroki Singkawang. Ramah tamah berisikan pengalaman umat dalam tugas pelayanan sebagai anggota dewan pastoral paroki. Uskup memberikan semangat dan dukungan kepada para anggota dewan pastoral paroki untuk melaksanakan tugas mereka dalam menghadirkan Kerajaan Allah di tengah masyarakat.

Dengan pelantikan ini, para dewan pastoral paroki diharapkan melaksanakan tugas pelayanannya dengan penuh semangat dan keyakinan bahwa tugas yang mereka emban adalah suatu perutusan.

Semoga Paroki kita semakin berseri-seri dalam menghadirkan Kerajaan Allah.