Kamis, 12 Maret 2009

Paroki sebagai Komunitas Pewartaan

PAROKI SEBAGAI SEBUAH KOMUNITAS PEWARTAAN

Dalam sebuah pembicaraan di meja makan, seorang rekan pastor memberikan komentar atas kekhawatiran terhadap unit-unit karya social Gereja, seperti Sekolah-sekolah Katolik, Rumah Sakit, dll akan kalah bersaing dan kemudian menjadi mati suri alias tutup. Pastor itu mengatakan, “Kita tak perlu khawatirlah. Misi awal kita mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit itu dulu kan untuk menolong orang-orang sakit dan anak-anak supaya bisa bersekolah. Karena dulu sekolah dan rumah sakit belum ada, sangat langka. Jadi bukan untuk bersaing apalagi bisnis, tetapi untuk kemanusiaan dan pewartaan. Sekarang yang penting bagi kita adalah bagimana kita memikirkan model dan strategi pewartaan kita sesuai dengan keadaan zaman ini”.
Misi utama Gereja adalah Pewartaan. Karya-karya social lainnya, seperti sekolah, rumah sakit, dll hanyalah pendukung dari misi utama tadi, yaitu mewartakan Injil Kristus kepada umat manusia sesuai dengan keadaan zaman ini. Karena itu ketika sebuah komunitas paroki hendak mengembangkan atau membuat rumusan misi parokinya, maka salah satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah perintah dan ucapan Yesus kepada para murid-Nya ini : “Pergilah dan jadikanlah mereka murid-murid-Ku”. Misi dan pewartaan Gereja sejatinya berdasar pada statement Yesus ini, meskipun cara dan pengungkapannya berbeda sesuai dengan situasi dan zaman di mana Injil itu hendak diwartakan.
Dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan tiga prinsip umum dalam pewartaan pada masa sekarang ini, pewartaan melalui kesaksian public, pewartaan melalui keindahan atau seni, pewartaan dan Ajaran Social Gereja. Dengan uraian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi dan membuka wawasan kita untuk melihat bagaimana sebuah paroki akan dan dapat menjadi sebuah komunitas pewartaan.

Pewartaan melalui Kesaksian Publik
Prioritas pertama adalah: membawa semua orang-orang Katolik secara sungguh-sungguh pada suatu antusiasme atas iman mereka, bahwa hidup iman mereka adalah dalam Yesus, dan membuat mereka merasa bebas untuk membagikan imannya itu dengan yang lain.
Dalam anjuran apostoiknya tenatang Evangelisasi (pewartaan), Paus Yohanes Paulus II menulis : Di atas segalanya, Injil harus diwartakan dengan kesaksian. Ambilah seorang Kristen atau sejumlah orang Kristen, yang di tengah masyarakatnya sendiri, menunjukkan kemampuan mereka untuk memahami dan menerima, untuk membagi hidup dan nasibnya dengan orang lain, solidaritas mereka serta usaha mereka untuk melakukan semua hal yang luhur dan baik. Marilah kita andaikan bahwa, di samping itu, mereka dengan secara sederhana dan tidak terpengaruh, memancarkan iman mereka dalam nilai-nilai yang di luar nilai-nilai yang sedang berlaku. Dan harapan mereka ialah pada sesuatu yang tidak kelihatan dan tak seorangpun berani membayangkannya.
Melalui kesaksian tanpa kata-kata ini orang Kristen membagkitkan pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dihalang-halangi dalam hati orang-orang, yang melihat bagaimana orang-orang Kristen hidup: apakah sebabnya mereka seperti ini? Mengapakah mereka hidup secara demikian ini? Apa atau siapakah yang mengilhami mereka? Sebab apakah mereka ada di tengah-tengah kita? Kesaksian semacam ini sudah merupakan suatu pewartaan Kabar Baik dengan secara diam-diam dan suatu hal yang sangat berpengaruh dan effektif.
Di sini kita lakukan langkah awal untuk penginjilan. Pertanyaan pertanyaan tadi mungkin akan merupakan hal pertama yang akan ditanyakan oleh kebanyakan orang-orang bukan Kristen, entah mereka ini meruapakan bangsa, yang tidak pernah mendapat pewartaan tentang Kristus, atau oleh orang-orang yang dibaptis namun tidak pernah mempraktekan agamannya. Ataupun hal itu dilakukan oleh orang-orang yang hidup berdasarkan prinsip-prinsip yang sama sekali bukan kristiani, atau orang-orang yang mencari dan kerapkali dengan susah payah, sesuatu atau seseorang yang dapat mereka rasakan tapi tidak dapat mereka sebutkan.
Pertanyaan-pertanyaan lain akan muncul, lebih mendalam dan lebih bersifat menuntut, pertanyaan-pertanyaan yang ditimbulkan oleh kesaksian yang melibatkan kehadiran, sharing/berbagi, solidaritas dan sesuatu yang hakiki dan secara umum merupakan hal pertama, di dalam penginjilan (Evangelii Nuntiandi, no. 21). Bapa Suci menambahkan: Manusia modern lebih senang mendengarkan kesaksian daripada para pengajar. Dan bila mereka mendengarkan para pengajar, hal itu disebabkan karena mereka tadi merupakan saksi-saksi (Evangelii Nuntiandi, no. 41).
Santu Petrus pun telah mengungkapkan dengan sangat baik mengenai pentingnya kesaksian public ini ketika ia menyebutkan bahwa teladan yang berasal dari hidup yang terhormat dan murni akan berhasil meyakinkan mereka yang menolak untuk tunduk pada Sabda Allah, kendati hal ini dilakukan tanpa perkataan (1 Petrus 3:1).

Pewartaan melalui Keindahan/Seni
Prioritas kedua untuk penginjilan ialah mengundang semua orang masuk dalam persekutuan “Communio”, entah apapun latar belakang social dan kebudayaan mereka, untuk mendengarkan pesan keselamatan dalam Yesus Kristus sehingga mereka boleh datang untuk bergabung dengan kita dalam kepenuhan iman Katolik.
Ada macam-macam cara pewartaan. Tradisi dan warisan katolik kita mengundang kita untuk melihat setiap aspek martabat manusia, dan seni sudah sejak lama telah menjadi bagian pewartaan dan tradisi katekese. Sebuah dorongan baru untuk menggunakan karya-karya seni dianjurkan oleh Dewan Kepausan untuk kebudayaan dalam dokumennya The Way of Beauty, di mana dikatakan: “The way of beauty replies to the intimate desire for happiness that resides in the heart of every person. Opening infinite horizons, it prompts the human person to push outside of himself, from the routine of the ephemeral passing instant, to the Transcendent and Mystery, and seek, as the final goal of the ultimate quest for wellbeing and total nostalgia, this original beauty which is God Himself, creator of all created beauty.”
Pada pertemuan tahun 2006, Dewan Kepausan untuk Kebudayaan mengidentifikasi tiga pendekatan untuk pewartaan melalui keindahan: melalui penghargaan terhadap ciptaan, seni dan Kristus sebagai contoh kekudusan kristiani. Ini membangkitkan pertanyaan penting bagi pembentukan masyarakat dalam terang iman untuk memiliki sebuah penghargaan yang autentik atas ciptaan Allah dan suatu penghargaan penuh iman akan keindahan autentik.
Ketika berbicara tentang ciptaan, Dewan Kepausan menulis: “We must carefully put in practice the twofold dimension of listening: listening to creation that tells the glory of God and listening to God who speaks to us through his creation and makes himself accessible to reason, according to the teaching of the First Vatican Council.”
Ia tidak hanya berbicara tentang pengembangan sebuah pembentukan/pembinaan dalam iman yang mengajarkan suatu penghargaan atas ciptaan dan keindahan, tetapi juga menekankan perlunya dialog antara iman dan ilmu pengetahuan. “Indeed, each branch of knowing, e.g. philosophy, theology, social and human sciences, psychology, can contribute to the revealing the beauty of God and of his creation.”
Dokumen ini mengingatkan kembali kerja dari tiga paus terdahulu akan pentingnya seni dan keindahan dalam pembentukan iman. Paus Yohanes Paulus II dalam suratnya Letter to Artists, menyebutnya sebagai “sebuah epiphany baru dan dialog iman dan kebudayaan antara Gereja dan Seni…”
Dokumen juga mempertanyakan tentang pengajaran umat prihal bagiamana menyambut keindahan dengan mengatakan: “Works of art inspired by the Christian faith – paintings and mosaics, sculptures and architecture, ivories, silvers, poetic, literary, musical and theatrical works, film and dance, etc. – possess an enormous potential pertinent to contemporary needs that remain unaltered by the times that pass. In an intuitive and tasteful manner, they permit participation in the great experience of the faith, of the meeting with God in the face of Christ in whom he uncovers the mystery of the love of God and the identity of man.”
Sebuah paroki dapat membangun iman yang dewasa pada kesempatan-kesempatan pembinaan, termasuk diskusi dan refleksi atas iman dan ilmu pengetauhan, seni, musik dan literature. Anggota Jemaat Paroki yang mempunyai pengetahuan banyak dalam bidang ini dapat bekerja sama dengan rohaniawan paroki dan staff pendidkian agama untuk memperkenalkan aneka ragam topik-topik yang menarik dan menantang bagi pendewasaan iman.
Dewan Kepausan untuk Kebudayaan mengingatkan: “In speaking to the artists in the Sistine Chapel 7 May 1964, Pope Paul VI denounced the ‘divorce’ between art and the sacred that characterized the 20th century and observed that today many have difficulty treating Christian themes due to a lack of formation and experience of the Christian faith.”
Dokumen melanjutkan: “The Servant of God John Paul II qualified the artistic patrimony inspired by the Christian faith as a ‘formidable instrument of catechesis,’ fundamental to ‘re-launch the universal message of beauty and good…’.
Senada dengan itu, Kardinal Joseph Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI), yang pada waktu itu sebagai ketua untuk Komisi Persiapan khusus bagi Compendium of the Catechism of the Catholic Church, menjelaskannya dengan menggunakan gambar-gambar: “The image is also a Gospel preaching. In all ages, artists have offered the events marking the mystery of salvation with the splendor of colors and in the perfection of beauty for the contemplation and admiration of the faithful. This is an indication of how, today more than ever with our civilization of the image, a holy image can express much more than words themselves, for its dynamism of communication and transmission of the Gospel message is more efficacious.”
Pendekatan ketiga dari pewartaan melalui keindahan yang diidentifikasikan oleh Dewan Kepausan untuk Kebudayaan adalah melalui suatu kontemplasi akan keindahan Kristus. Dokumen menginstruksikan bahwa dalam suratnya kepada para seniman ‘the Letter to Artists’, Paus Yohanes Paulus II menggarisbawahi kekayaan baru dari Inkarnasi: ‘Dengan menjadi manusia, Putera Allah telah diperkenalkan ke dalam sejarah manusia akan semua kekayaan injili yang benar dan baik, dan dengan ini Dia juga telah memperkenalkan sebuah dimensi baru dari keindahan, yang mana pesan Injil telah terpenuhi.
Menjaga keindahan Kristus harus dihadirkan dalam suatu sikap yang diperbaharui sehingga setiap orang yang percaya dan juga yang acuh tak acuh dapat menerimanya dengan senang hati dan mengkontemplasikan Dia. Perhatian para gembala dan katekis dibutuhkan untuk membawa isu ini agar pewartaan dan pengajaran mereka akan menuju ke keindahan Kristus. Orang-orang Kristen dipanggil untuk bersaksi dengan gembira dan untuk mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang dikasihi oleh Allah dan akan suatu keindahan hidup yang ditransformir oleh kasih yang datang dari atas ini.

Pewartaan dan Ajaran Sosial Katolik
Prioritas ketiga adalah menyebarkan nilai-nilai Injil di tengah masyarakat kita, mempromosikan kedalaman martabat pribadi, pentingnya keluarga dan pemahaman yang baik terhadap masyarakat kita, sehingga diri kita dapat terus bertransformasi dengan mengandalkan kekuatan dari Yesus Kristus.
Prioritas ini menerima secara ekstensif panduan dari the Compendium of the Social Doctrine of the Church, yang mengatakan: “The Church’s social doctrine is an integral part of her evangelizing ministry. Nothing that concerns the community of men and women…is foreign to evangelization, and evangelization would be incomplete if it did not take into account the mutual demands continually made by the Gospel and by the concrete, personal and social life of man. Profound links exist between evangelization and human promotion…” .
Pembentukan iman yang dewasa dan ‘ongoing formation’ Dewan Pastoral Paroki, Para Staff Paroki dan para relawan paroki akan terbantu dengan sebuah study atas ‘compendium’ ini. Paroki mempunyai sebuah misi dan kerasulan akan pemahaman-pemahaman yang baik dan benar akan Ajaran Social Gereja dan kemudian dapat mempromosikannya.
‘Compendium’ lebih lanjut mengatakan: “The Church’s social doctrine is ‘itself a valid instrument of evangelization,’ and is born of the always new meeting of the Gospel message and social life. Understood in this way, this social doctrine is a distinctive way for the Church to carry out her ministry of the Word and her prophetic role. In effect, to teach and to spread her social doctrine pertains to the Church’s evangelizing mission and is an essential part of the Christian message, since this doctrine points out the consequences of that message in the life of society and situates daily work and struggles for justice in the context of bearing witness to Christ the Savior…it is at the very heart of the Church’s ministry of service: with her social doctrine the Church ‘proclaims God and His mystery of Salvation in Christ to every human being, and for that very reason reveals man to himself.’ This is a ministry that stems not only from proclamation but also from witness.”
Sejak paroki berbagi dalam misi Gereja untuk menginjili pribadi-pribadi dan budaya-budaya, ia harus pertama-tama melihat ke dalam budayanya sendiri dan kemudian baru melihat ke budaya luar yang ada di sekitar komunitas tersebut, di mana dia harus mewartakan dan sekaligus memberikan kesaksian. Harus diingat bawha pewartaan dan kesaksian akan menjadi tidak lengkap jika ia tidak membentuk public dan dipraktekkan dalam kesaksian hidup.
Dalam suatu pertemuan dengan para uskup Canada beberapa waktu yang lalu, Paus Benediktus XVI menekankan kembali akan pentingnya keterkaitan antara Magisterium Gereja, iman per orangan dan kesaksian public dengan mengatakan: “In this regard, particular care must be taken to ensure that the intrinsic relationship between the Church’s magisterium, individuals’ faith, and testimony in public life is preserved and promoted. Only in this way can we hope to overcome the debilitating split between the Gospel and culture.”
Dan dalam eksortasi apostoliknya tentang Evangelisasi, Paus Paulus VI mengajarkan: “Pemisahan antara Inil dan kebudayaan tidak dapat diragukan lagi merupakan suatu drama untuk zaman kita, seperti halnya untuk zaman-zaman lainnya. Oleh karenanya setiap usaha harus dilakukan untuk menjamin penginjilan kebudayaan sepenuhnya, atau lebih tepat kebudayaan-kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan harus dilahirkan kembali dalam suatu pertemuan dengan Injil. Namun pertemuan ini tidak akan terjadi bila Injil tidak diwartakan” (Evangelii Nuntiandi, no. 20).
Orang-orang Katolik tidak dapat memisahkan iman mereka dari setiap aspek dan dimensi lainnya dari kehidupan mereka. Pemahaman akan Ajaran Social Gereja dan usaha-usaha untuk mempraktekkannya di paroki dan komunitas-komunitas local adalah sangat penting. Dalam budaya internal paroki dan budaya eksternal di sekeliling komunitasnya diusahakan harus mendidik, menjelaskan dan mempraktekkan Ajaran Sosial Gereja terebut.
Rumusan misi paroki, Dewan Pastoral Paroki dan Study tentang paroki sendiri sangat dibutuhkan, termasuk untuk suatu penyadaran tentang Ajaran Sosial Gereja serta untuk mengembangkan cara-cara mengajar dan memberi kesaksian Injil yang diarahkan pada isu-isu dan perhatian manusia zaman sekarang ini.
Ajaran Sosial Gereja itu sendiri terdiri atas rumusan-rumusan, pandangan dan sikap resmi Gereja tentang hak-hak dan tanggungjawab seorang pribadi manusia yang bermartabat. Keseimbangan antara keduanya, hak dan tanggungjawab, adalah sangat penting untuk sampai pada suatu pemahaman yang sempurna akan misi Gereja dan misi paroki.
(P. Amandus Ambot, OFMCap)

Tidak ada komentar: